Bahasa Ayas




Kota Malang, 'The heart of East Java', jantung jawa timur. Begitu tulisan di Cafe Sawah yang baru kukunjungi beberapa hari lalu. Benar atau tidaknya tergantung penilaian masing-masing. Namun pesona pariwisata Malang dan Batu tak bisa dipungkiri. Terlebih sejak semakin diluaskannya Bandara Abdul Rachman Saleh, semua makin terbuka.

Bahkan penyanyi KLA project, Katon Bagaskara sangat bersyukur akses ke kota Malang tak harus berlelah-lelah lewat Surabaya lagi. Dan memang, semakin marak selebritis yang datang ke kota yang semakin 'genit' ini.



Dulu, saat masih bekerja, aku sering berkunjung ke kota ini. Banyak temanku yang berdomisili di sini. Hampir setiap akhir pekan aku berkunjung. Untuk sekedar berlibur atau untuk memenuhi undangan.

Namun sejak pindah ke Jakarta, aku jarang mengunjungi kota ini lagi. Hampir tak pernah bahkan.
Karena setiap kali pulang ke Surabaya, tak pernah lama hingga tak ada kesempatan untuk mengunjungi kota ini lagi.

Ketika kembali dua tahun lalu, seperti 'pangling' dengan semuanya. Pemukiman makin padat. Perumahan semakin marak.  Juga jalan semakin ramai alias macet.


Satu hal yang tidak berubah yaitu bahasanya yang khas.
Aku cuma paham sedikit. Suamiku yang kuliah dan lama tinggal di sini, sudah pasti lebih jago.


Terkadang dia lupa bicara denganku menggunakan bahasa khas ini, yang bikin aku 'melongoh' lama karena berpikir mengartikannya.
Tapi itu jadi sumber becandaan kita juga akhirnya. 


Bahasa 'Walikan', itulah bahasa khas penduduk Malang. 
Tentu ada sejarah awal adanya bahasa ini. Aku yakin tak semua orang Malang tahu itu. 


Bahasa 'walikan' ini berasal dari pemikiran para pejuang tempo dulu, yaitu kelompok Gerilya Rakyat Kota(GRK). 


Tujuan dibuat bahasa ini bukan saja untuk kerahasiaan informasi antar pejuang, tapi juga jadi pengenal identitas antara kawan dan lawan.
Tentu kita tahu, di setiap perang selalu saja ada mata-mata yang menyusup. Itulah kenapa dibutuhkan bahasa yang hanya bisa dimengerti sesama pejuang.


Penggagas bahasa 'walikan' ini adalah seorang pejuang dari Malang bernama Suyudi Raharno.
Bahasa campuran (baik bahasa Indonesia, China ataupun bahasa daerah) yang jadi 'walikan' tersebut hanya mengenal satu cara, baik pengucapan maupun penulisan yaitu secara terbalik dari belakang dibaca ke depan.


Contohnya kata saya jadi 'ayas'.
Malang jadi 'Ngalam'. Juga lainnya. Tak peduli dasarnya bahasa Jawa, atau manapun semua dibalik. Walau tak semua sama persis balikannya.


'Walikan' dalam bahasa Jawa artinya kebalikan atau terbalik.
Seperti kata sekolah jadi 'halokes'
Tapi entah kenapa pacaran, istilahnya jadi 'ngamrin'. 


Mertua jadi 'oromaut'.
Surabaya jadi 'Ayabarus'.
Rumah jadi 'hamur' dan sebagainya.


Itulah tadi sedikit contoh bahasa walikan yang hanya ada di Malang. 
Sampai sekarang, aku masih mikir dulu bila ada yang bicara dengan bahasa walikan itu. 


... lumayan jadi 'nayamul', makan jadi 'nakam', 'sego'(nasi) jadi 'oges'...










     66-2017






Comments

Popular Posts