Lebaran Itu Perekat




Entah tradisi mana yang memaknai lebaran dengan baju baru. Kenyataannya waktu kecil aku suka dapat baju baru saat jelang lebaran, yang tentu dipakai saat lebaran.

Bisa 3 pasang baju yang kudapat. Tapi aku tak begitu pusing dengan hal seperti itu. Mungkin bawaan orok, aku tak kemayu dari kecil. Mau baju baru atau tidak, aku lebih suka jalan-jalannya saat lebaran.

Pagi sekali kami semua sudah dibangunkan Mama. Berangkat ke Masjid beramai-ramai jalan kaki. Rasanya senang sekali bertemu banyak orang sambil terus bertakbir.

Usai dari masjid, kami berbaris. Yang lebih tua di depan. Mama duduk, dan satu persatu kami sungkem pada mama.

Mama suka menangis saat sungkeman itu. Kami dicium satu persatu. Kening kami, pipi kiri dan kanan kami terus dipeluk. Hingga selesai, baru kami menuju meja makan.

Kami dibiasakan mendahulukan yang tua. Jadi mau makanpun, yang tua harus di dahulukan memulai. Tak boleh 'nyisani' yang lebih tua. Kami patuh semua.

Usai makan lebaran, kamipun bersiap jalan. Kerumah Eyang-eyang, pakde-budhe juga tetangga.
Yang pasti, saat kami masih anak-anak dulu dapat uang cukup banyak dari keliling itu.

Jika dirumah nenek(bibinya Mama), aku selalu minta kue tomat. Berbentuk tomat yang berisi selai strawberry. Nenek tahu dan selalu memberiku satu toples untuk dibawa pulang.

Dirumah nenek lainnya, aku suka minta kaastangelnya. Hihihi.... keluarga dari mama hampir semuanya pintar masak dan bikin kue.

Di rumah budhe, aku suka dengan minuman sinomnya. Tradisi bikin sinom dipertahankan hingga cucunya sekarang. Budhe sudah lama wafat. Sinom itu minuman dari daun asem kalau tidak salah. Rasanya asem-asem segar.

Berkeliling kerumah kerabat hingga dzuhur, kitapun pulang.
Biasanya usai maghrib kita lanjutkan.

Begitulah..


Lebaran bermakna meluaskan bagi kami. Meluaskan rezeki dengan bersilaturahmi. Meluaskan hati untuk saling memaafkan, saling berkasih sayang, saling berbagi.

Setelah kedua orangtua kami wafat, ada pergeseran yang terasa.
Kami yang semua sudah punya kehidupan masing-masing, rasanya sulit berada dalam satu kumpulan bila tak 'dipaksa'kan.

Berangkat dari situ, kamipun sepakat berkumpul setidaknya satu tahun sekali di saat lebaran.

Bani H. Ridwan tak boleh 'kepaten obor'.
Tempatnya bergiliran. Tentu ada konsekwensinya. Terlebih bila harus di luar pulau, mengingat beberapa dari kami tinggal di luar pulau Jawa.


Tentunya pertama kali kami adakan dirumah Emak, istri pertama ayah. Alhamdulillah putra-putri ayah baik dari emak atau ibuku semua rukun dari kecil. Tak ada yang merasa jadi anak 'tiri'. Bukankah dalam Islam tak ada istilah 'tiri'?

Emak juga ibu kami, dari kecilpun kami sudah dekat. Emak juga sayang kami semua sebagaimana kami menyayangi beliau.

Begitulah, akhirnya setiap tahun kami merayakan Idul Fitri di tempat yang berbeda-beda.

Dari Babad Lamongan, Jogja, Malang, Samarinda, Batam, Tanjung Pinang, Sidoarjo, bahkan kami pernah lebaran bareng di Singapore.

Tahun ini sudah menginjak tahun ke sebelas dan akan berkumpul di Ponorogo. InsyaaAllah.

Tradisi saling bertukar hadiah, bertukar cerita, juga berbagi keceriahan tumpah di acara keluarga ini.
Intinya, anak, cucu dan cicit H. Ridwan saling mengenal dan tersambung.

Setiap tahun kamipun saling infokan, siapa yang telah berpulang atau bertambahnya anggota keluarga baru.
Biasanya itu tugasku sebagai anak bungsu. Mirip 'dinas kependudukan'...😄

Ada 20 cucu ayahku, 10 cucu menantu, 23 cicitnya. InsyaaAllah cicit pertamanya akan menikah tahun ini.
Heboh itu harus. Karena memang cuma satu tahun sekali berkumpulnya.

Sungguh, silaturahim itu indah.


Alhamdulillah..



#TB
90-2017

Comments

Popular Posts