Inggil
Aku terlahir sebagai orang Jawa, namun untuk pelajaran bahasa Jawa aku tak pandai. Bahkan aku kebingungan dengan bahasa Jawa kromo inggil.
Orangtuaku membiasakan kami berbahasa Indonesia sejak kami kecil.
Ada satu masa aku membuat guru bahasa Jawaku kebingungan, antara ingin memarahiku namun juga menahan tawa. Semua karena aku memberi jawaban 'salah tapi ada benarnya'.
Dulu, pelajaran bahasa Jawa ada pertanyaan..
'Anake sapi jenenge opo?
Anake gajah jenenge opo?'
Intinya menanyakan nama anak hewan dalam bahasa Jawa.
Aku yang memang tak paham, menjawab seperti ini...
Anake sapi jenenge sapi cilik.
Anake gajah jenenge gajah cilik.
Semua ku jawab ada kata 'cilik', yang berarti kecil.
Guruku bingung melihat jawabanku. Tak terlupakan juga saat kakakku tak berhenti tertawa ngakak membaca jawabanku.
Aku tak merasa bersalah. Bukankah anak sapi itu sapi kecil? Anak gajah juga gajah kecil?
Aku samakan dengan manusia, anaknya kan namanya anak kecil?
Ah... ternyata sudah lama sekali itu terjadi. Sekarang aku sedikit menyesal tak pernah belajar segala hal tentang Jawa terutama filosofinya yang begitu 'adiluhung'.
Semua karena pertemuanku dengan sang pemilik restoran museum 'Inggil' di Malang.
Ini restauran yang sangat unik. Berkonsep kuat, restauran yang juga museum.
Sang pemilik sangat sadar bahwa orang Indonesia itu bukan penyuka museum.
Sedikit sekali orang Indonesia yang mau berwisata ke museum.
Itulah kenapa konsep museum yang dianggap kuno, jadul bin tidak menarik, diubah dengan gaya kekinian agar pengunjung tak merasa berada di museum.
Satu-satunya museum yang paling banyak dikunjungi di Indonesia adalah Museum Angkut yang berada di kota Batu.
Coba lihat di sana, hanya museum angkut yang disukai, tapi museum topeng di kawasan yang sama sepi pengunjung walau harga tiket masuknya lebih murah.
Restauran museum Inggil didirikan pada tahun 2005. Oleh seorang putra Walikota Malang saat itu.
Berlokasi di kawasan elite Malang. Restaurant ini betul-betul unik dan berbeda. Pengunjungnya 60% adalah ekspatriat, yang memang lebih appreciate pada segala hal yang disebut 'warisan budaya'.
Di pintu masuk, anda akan disambut gambar sang pemilik juga peta isi 'museum' ini.
Semerbak bunga sedap malampun turut memberi sambutan 'khas' Jawa.
Anda sudah disuguhi beragam barang, foto, dan cerita sejarah yang di bingkai berjajar.
Ada gebyok yang kokoh, juga wayang kulit dengan gunungannya.
Setiap ruang punya nama. Jangan kuatir dengan wifi karena di restaurant ini banyak tertulis "dateng mriki Saget HOTSEPOT..mboten sisah mbayar".
Masuk lagi kita dapatkan ruangan yang penuh berisi kaset lama. Tentu meja dan kursi untuk makan ikut tersedia di setiap ruang.
Di sepanjang lorong yang menghubungkan ruang satu dan lainnya banyak 'cerita' baik bergambar atau tulisan/berita koran lama tentang Malang Tempo Doeloe.
Butuh waktu yang cukup panjang untuk membaca dan mengamati semuanya.
Gebyok hadir lagi di ruang dekat kasir. Setiap bentuk gebyok punya filosofi yang berbeda. Juga sebagai penanda 'kelas' sang penghuni rumah. Begitulah ulasan sang pemilik padaku.
Ya, bersyukur aku bisa bertemu sang pemilik restaurant museum ini langsung. Hingga bisa langsung mewawancarai beliau.
Di depan kasir terdapat ruang yang di penuhi gambar retro para pahlawan pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari Presiden Soekarno, Bung Hatta, Bung Tomo dan lainnya.
Juga gambar peresmian Tugu Malang yang bertanggal 20 Mei 1953.
Di ruang yang sama juga dipenuhi potongan berita koran jaman itu plus gambar Malang tempo dulu.
Lanjut kita masuk ruang baru yang di sekat semacam partisi yang juga berfungsi sebagai pembatas dengan area makan yang berisi topeng khas Malangan berderet rapi.
Jika kita melangkah ke sebelah kanan, maka deretan tempat kinangan antik di etalase menyambut kita. Juga rak laci antik semua.
Di dinding atas berjajar poster-poster jaman dulu bergaya retro.
Ruangan ini mempunyai konstruksi atap bambu dan plafon anyaman bambu.
Ada aksesoris penutup meja buffet alang-alang.
Jika kita melangkah ke sebelah kiri, maka akan di'sambut' patung Ir. Soekarno yang membuatku 'terkejut'. Juga deretan cermin antik khas Jawa.
Di dinding atas terdapat lukisan poster dengan cerita beragam.
Baik di kiri atau kanan ruangan ini berderet 'jejer' (tempat umbul-umbul dari bambu).
Tak tertinggal kandang burung perkutut ikut jadi aksesoris pemanis ruangan.
Di ujung tengah ruangan terdapat panggung pertunjukan khas Jawa. Yang setiap malam hari ada pertunjukan.
Dapur berada di samping ruangan ini. Ketika aku bertanya tentang menu andalan, sang pemilik menjawab bahwa setiap peristiwa sejarah ada masakan/makanan tercipta.
Dari urap sayur, sambal terong, sambal trancam dan hampir semua menu Jawa ada di sana. Setiap menupun punya sejarah.
Karena sedang berpuasa, kami tak bisa mencicipi menu yang ada di restaurant museum ini. Sang bos sebenarnya ingin menjamu kita.
Setelah puas di ruang restaurant 'utama', kita kembali berjalan menuju kasir yang sibuk menerima telphone untuk reservasi berbuka puasa.
Beberapa wisatawan mancanegara, terutama Eropa tampak berseliweran di sana.
Akupun tergelitik menanyakan bagaimana mengumpulkan barang-barang antik sebanyak itu di restaurantnya.
"Kebanyakan ini barang hibah dari teman-teman saya di beberapa negara. They are very supported me. Alhamdulillah"
Ada deretan mesin ketik jadul dengan merk Remington dan lainnya. Juga kamera-kamera unik jaman dulu. Telephone, hingga cap rokok jaman dahulu semua ada di restaurant yang menurutku ini luar biasa konsepnya.
Sang pemilik masih muda, energik, very humble person, dan yang terpenting beliau ini sangat cinta sejarah.
Mengingatkanku pada anak bungsuku.
Anda yang akan mengunjungi restaurant ini, sebaiknya membaca peta yang ada di pintu masuk. Tersesat sih tidak karena tak seluas Museum Angkut. Namun setidaknya anda bisa tahu nama-nama ruang di dalam restaurant ini dengan rangkaian sejarahnya.
Di depan restaurant ada toko yang berisi pernak-pernik barang jaman dahulu juga. Dari mainan hingga topeng dan daster khas kota Malang.
Dari sejarah kita banyak memahami atas segala kejadian yang berlangsung saat ini. Karena sejatinya, setiap zaman itu adalah sejarah yang berulang.
Rasanya betah di restaurant museum ini. Layaknya membaca buku sejarah sembari menikmati makanan khas yang bersejarah pula.
Inggil bermakna atas, dan kata 'atas' punya banyak makna.
Jika anda ke kota Malang, jangan lupa untuk mampir di restaurant museum yang penuh 'pelajaran' ini.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya.
Dan dari sejarah kita tahu pahlawan yang hadir.
Akupun berterima kasih pada sang pemilik dan berpamitan sekaligus.
Hormatku untuk generasi yang inovatif tanpa lupa jati dirinya sebagai orang Jawa yang hidup di negara Indonesia.
Pengetahuannya tentang budaya jawa pantas diacungi dua jempol.
68-2017
Comments
Post a Comment