Istilah Anak Broken Home, Haruskah Tetap Disematkan?
Nur Rina Chairani - Ciptono Wahyu Prasetyadi
27 Oktober 2017
Ilustrasi (sumber: hellosehat.com)
Bernas.id - Menjadi janda, menjadi single parent, siapa yang berencana untuk itu? Rasanya hampir tak ada yang punya niatan itu saat melangkah ke pelaminan. Harapan menjalani kehidupan bersama yang harmonis hingga maut memisahkan, mempunyai keturunan yang baik, itulah harapan setiap perempuan.
Namun hidup tak pernah bisa diduga. Tak jarang harapan tak sesuai dengan realitas. Stigma menjadi single moms saja sudah sarat konotatif negatif. Ternyata masih ditambah dengan pandangan buruk bagi anak-anaknya yang disebut anak-anak broken home.
Kalau anak-anak para single parent melakukan ‘kenakalan’ yang mungkin untuk teman-teman lainnya dianggap masih dalam batas wajar biasanya komentar yang terlebih dulu keluar adalah “Oh, wajar saja bandel, anak broken home sih.” Sungguh sangat tidak mengenakkan. Jika segala tindak-tanduk anak-anak para ibu tunggal ini dikategorikan akibat keputusan orang tuanya memilih bercerai. Perceraian saja sudah menyakiti anak-anak mereka ditambah dengan penghakiman dari masyarakat yang akan menambah luka mereka.
itulah kenyataan yang terjadi. Apa pun yang dikerjakan anak-anak ibu tunggal selalu mendapat nilai ‘lebih’ oleh orang lain. Jika berhasil orang akan menilai “Hebat ya, dibesarkan tanpa ayah tapi tetap berhasil.” Sementara itu, jika sebaliknya orang sudah pasti akan menilai “Pantesan, nggak punya Bapak sih.”
Masyarakat harusnya bijak..Keputusan bercerai sudah pasti akan mempengaruhi mental dan emosional anak. Sebagaimana orang tua lain, para single parent memiliki keinginan yang sama, yaitu memberi yang terbaik untuk mereka. Hendaknya masyarakat tak perlu ikut memberi penghakiman pada anak-anak para single parent.
Mempertahankan rumah tangga dimana anak-anak terpapar pada bentuk-bentuk penganiayaan, baik itu secara fisik maupun emosional bukanlah pilihan terbaik. Karena akan membuat anak-anak ini nantinya menjadi pelaku KDRT juga. Anak-anak wajib diberi kesempatan untuk membangun kehidupan baru yang lebih sehat.
Kenyataannya, anak-anak banyak menjadi korban kedua orang tuanya yang lebih mementingkan egonya sendiri, menggunakan anak-anak sebagai senjata dalam proses perceraian di pengadilan. Gagalnya orang tua menjalankan co-parenting (terutama yang bercerai karena KDRT)adalah hal yang juga sering terjadi yang tentu saja dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental anak-anak.
Bagi para single moms yang harus bekerja fulltime, menjalankan peran sebagai orang tua saja sudah berat apalagi memenuhi kebutuhan ekonomi jika sang ayah lebih memilih untuk mangkir. Percayalah, mereka berusaha sama kerasnya dengan orangtua lainnya untuk mendidik anak-anak dengan baik. Berhentilah mengolok-olok anak-anak para ibu tunggal, tapi terimalah mereka dengan baik. Support-lah mereka secara moral. Hargailah anak-anak itu dan please, don’t bully them.
Sejarah telah menulis bahwa banyak anak-anak yang dibesarkan ibu tunggal meraih keberhasilan di masa depannya. Jangan pernah memandang sebelah mata, apalagi melecehkan mereka dengan beragam atribut yang tak semestinya.
Tentu saja para single parent tidak bisa serta merta menghapus persepsi masyarakat yang memandang anak-anak itu berbeda karena dibesarkan oleh ibu tunggal. Semoga suatu hari perubahan ini bisa terjadi.
(Dari berbagai sumber)
Comments
Post a Comment