Tak Hanya Dalam Pesawat, Pintu Darurat Juga Ada Dalam Rumah Tangga
Nur Rina Chairani - Deni Rizki Wibawa
01 November 2017
01 November 2017
Bernas.id - Perceraian, sebagaimana sebuah perpisahan adalah sesuatu yang
paling ditakuti dalam hidup ini. Terlebih berpisah dari orang yang kita cintai.
Yang dulunya kita cintai, tiba-tiba menjadi orang yang paling kita benci.
Mungkin ada benarnya bahwa rasa cinta dan benci itu tipis sekali batasnya.
Bukankah ketika kita membenci seseorang, kita cenderung mencari-cari
kesalahannya, sebagaimana saat kita mencintai seseorang, kita puja-puji dia
setinggi langit.
Ketika cinta itu berubah jadi
kesakitan dan kebencian dalam sebuah mahligai rumah tangga, apakah semua harus
diakhiri dengan perceraian?
Perceraian adalah sebuah
pintu darurat, hanya digunakan saat keadaan benar-benar sangat darurat. Saat
pintu yang lain sudah tak berfungsi. Ada kalanya pintu darurat itu berfungsi
langsung saat dibutuhkan, ada kalanya harus dijebol dan dirusak untuk bisa
terbuka. Begitupun perceraian, ada kalanya berakhir dengan tenang, ada
kalanya harus bertengkar sengit di pengadilan. Dikatakan ’tenang’, bukan
baik-baik, karena sebuah perceraian tak ada yang baik-baik.
Bagaimana bisa dikatakan
baik, bila peristiwa ini menimbulkan luka menetap bagi yang mengalaminya. Bisa
jadi akan sembuh, namun tak sedikit yang terbawa hingga seumur hidupnya. Tak
semua orang menyadari dirinya sakit sebelum terasa sakit sekali bukan?
Perceraian bisa terjadi
karena banyak hal. Paling klise alasannya adalah tidak adanya lagi kecocokan
antara pasangan suami istri yang terus menerus mengakibatkan banyak
pertengkaran. Sedikit saja kita berpikir kembali, kesatuan dua pribadi dari
keluarga yang berbeda, dengan tatanan berbeda, tanpa adanya kesabaran dan
kebesaran hati untuk belajar saling memahami pasti hancur. Jika dulunya bisa
bilang saling menerima perbedaan, lalu kemana kata-kata itu saat semua
berlangsung tak seperti yang diharapkan?
Alasan kedua adalah faktor
ekonomi, dan ini juga tak kalah banyaknya menurut catatan pengadilan agama. Tak
semua orang bisa hidup dalam garis keterbatasan menurut batasan yang mereka
buat sendiri.
Alasan klasik lainnya adalah
perselingkuhan. Ini bisa dipahami, karena sebuah pengkhianatan itu memang
menyakitkan dan sangat traumatis. Pernikahan adalah komitmen. Perjanjian, bukan
hanya pada manusia, namun juga pada Tuhan.
Alasan yang memang tak bisa
di tawar adalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tak banyak yang
memahami bahwa KDRT ini bukan hanya soal kekerasan fisik, namun juga soal
ekonomi yang tak tertunaikan serta hak lain yang diabaikan. Istri punya hak
untuk dinafkahi, tapi oleh suaminya tak dinafkahi, istri punya hak untuk di
bawa berobat saat sakit, namun tak ditunaikan suami, itu semua ada dalam pasal
KDRT.
Bila sudah menyangkut
kekerasan fisik dan verbal, terlebih lagi sudah adanya anak, hanya ada dua
penyelesaian. Bertahan dengan komitmen, sang pelaku ingin sembuh dengan ikut
terapi atau cerai. Karena tak ada kebaikan dari sebuah kekerasan yang
terus dilakukan dan dipertontonkan di depan anak-anak. Perempuan korban KDRT,
kebanyakan mengalami traumatis yang paling dalam yang akan dia bawa seumur
hidupnya.
Anak-anak punya hak untuk
mempunyai kehidupan yang lebih baik dari orangtuanya. Jangan sampai anak akan
menganggap bahwa kekerasan itu hal yang wajar untuk bisa dilakukan sehari-hari.
Alasan lain yang juga membuat
orang bercerai adalah sakit yang tak bisa disembuhkan, atau yang membuat salah
satunya tak bisa menjalankan fungsinya sebagai pasangan. Biasanya ini tak
terendus di pengadilan, hanya membuat ‘kesepakatan’ diam.
Apapun alasannya, yang
namanya perceraian selalu membawa konsekuensi pada hati. Baik pada hati yang
menjalaninya, pada anak dan keluarga besarnya.
Comments
Post a Comment