Pilkada Ini untuk Siapa?
Nur Rina Chairani - Ciptono Wahyu Prasetyadi
24 Januari 2018
24 Januari 2018
Bernas.id - Tahun politik di Indonesia, selalu dipenuhi hingar bingar. Dari beragam kalangan masyarakat, mulai banyak bernyanyi dengan segala macam nada. Dari nada harapan hingga nada satire. Dari nada persahabatan hingga nada permusuhan. Dari permusuhan manis alias terselubung hingga permusuhan yang melaju ke ranah hukum.
Sejak reformasi didengungkan, rasanya hampir semua orang punya hak untuk mencalonkan diri menjadi apa saja. Dari bupati hingga presiden. Lihatlah! Bagaimana kalangan pekerja seni yang tiba-tiba banyak melenggang sebagai wakil rakyat, juga jabatan publik yang lainnya. Partai politik pun membengkak. Hampir semuanya boleh mendirikan partai selama ‘merasa’ punya modal dan pendukung, atau kata manis lainnya, karena adanya keinginan banyak orang, entah orang yang mana.
Jika di masa lalu, untuk menjadi pimpinan daerah haruslah seorang putra daerah asli tersebut, sekarang persyaratan tersebut tampaknya tak berlaku lagi. Semua bisa menjadi kutu loncat untuk meraih jabatan di manapun selama masih di wilayah Indonesia. Jika masa lalu, ada persyaratan khusus untuk menuju sebuah kekuasaan, sekarang semuanya serba instan. Ibaratnya ada uang, ada jalan.
Ya, uang! Berkoar sebagai ajang demokrasi, kenyataannya 300 lebih kepala daerah yang dipilih langsung tersandung kasus korupsi. Beramai-ramai menjadi penduduk di balik jeruji besi. Beramai-ramai berwisata dijemput kendaraan bernama KPK, dan mereka pun diberi seragam cerah berwarna oranye. Entah dari mana juga awalnya kebiasaan ini, yang tertangkap perempuan tiba-tiba memberi tambahan kerudung saat konperensi pers layaknya pemain bola yang baru di-transfer oleh sebuah klub mahal, melambaikan tangan sembari tersenyum penuh arti. Tak lagi ada rasa malu, apalagi wajah penyesalan. Menganggap wisata ke kota jeruji besi yang melalui tempat pemberhentian pengadilan sejenak adalah hal yang sudah biasa. Layaknya sebuah destinasi yang wajib dikunjungi.
Hmmm… kursi kekuasaan memang selalu menggoda. Terlebih bagi yang sudah mencapai tahapan kaya raya dan mampu membeli apa saja, termasuk membeli kekuasaan. Entah dengan tangannya sendiri, ataupun lewat tangan orang lain yang dijadikannya boneka.
Hari-hari ini semua calon sibuk berkeliling dengan segala wajah manisnya. Bagaikan baterai kelinci yang tak terhentikan, energi mereka luar biasa. Setiap hari ke sana ke mari mengobral senyum, berbagi ‘rezeki’ plus mengucap janji. Akan lebih manis, ber-selfie bersama bayi penduduk, plus para lansia yang ‘kumus-kumus’. Ah! Rakyat pun meringis haru dan bersepakat menyematkan predikat sebagai calon yang pro rakyat kecil.
Hari-hari ini juga, semua calon begitu mudah ditemui di manapun. Baik calon yang memang asli putra daerah, ataupun calon yang asli tinggal jauh dari daerah yang dia tuju. Berdalih bahwa dia bukan orang asing untuk daerah tersebut, atau punya suami orang asli daerah tersebut, atau keluarganya memang asli berasal dari daerah tersebut, semua didengungkan untuk menampik julukan ‘aji mumpung’.
Pilkada, sebenarnya untuk siapa? Rakyat ataukah penguasa? Memakmurkan rakyat atau ‘memakmurkan’ yang terpilih nanti?
Comments
Post a Comment