Ada Retro Diantara Hijau Dedaunan
Aku selalu menyukai alam.
Bau pinus, cemara dan tanah seusai hujan bagai candu yang ingin terus kuisap.
Aku suka alam yang bebas. Alam yang tak berbasa-basi. Karena begitulah diriku.
Aku bukan penggemar mode, apalagi selalu berbusana rapi.
Aku suka sesuatu yang nyaman.
Siang itu usai dzuhur, aku diajak pergi lagi. Aku sambut dengan antusias.
Bagiku bepergian itu nikmat. Terlebih setelah anak-anak telah dewasa semua.
Bukan lagi tentang kemana, tapi apa yang bisa didapat dari bepergian itu.
Awalnya aku diajak ke petilasan Kendedes, tapi aku tak merasakan sense apapun selain kekumuhan. Aku memilih arah lain.
Kami masuk ke sebuah perumahan yang dulunya adalah vila-vila peristirahatan orang Belanda. Kavlingnya besar semua. Begitupun bangunannya. Banyak pula gereja-gereja tua yang masih terawat.
Beberapa bangunan ada yang terlantar. Berserak begitu saja, kosong dan hancur sendiri.
Yang lain masih berdiri gagah dengan identitasnya sendiri. Laksana retro dan modern berdampingan.
Di pertigaan, antara bangunan dan sekolah katholik, berdiri sebuah bangunan baru, sebuah masjid.
Kontras dan sedikit mengganggu tatanan retro yang berjajar rapi. Lalu warung-warung jalanan berbaris tanpa aturan.
Hmmm...
Kamipun melanjutkan perjalanan. Terus menanjak, melintas jalan sepi yang basah.
Mulai bertumbuhan real estate berlabel cluster, rumah mewah dan 'permai' sebagaimana di tempat lain.
Ada yang di tepi jalan utama, ada pula yang masuk menjorok di belakang rumah penduduk yang sangat 'polos'.
Begitulah hidup. Mati satu bertumbuh seratus. Mendesak yang lalu, tak jarang juga menendang tanpa bertanya.
Terus kami berjalan. Menyusur kelok demi kelok yang basah. Ada banyak tumbuhan subur di tanah ini. Dari bunga yang berwarna moncer hingga sayuran dan buah bergelantungan tak bertuan.
Suburnya negeriku...
Laju kendaraan kami sedikit menderu di jalan yang makin menanjak. Hingga masuklah kami ke area perkebunan yang sangat luas.
Sebuah perkebunan teh yang cukup terkenal di sekitar kota ini karena di jadikan sebagai kawasan Agro wisata.
Menurut sejarahnya, perkebunan ini dibuka tahun 1875. Mulai ditanami tahun 1910. Dan pabriknya didirikan pada tahun 1912.
Awalnya luas perkebunan yang mencapai 700 hektar ini hanya ditanami teh. Namun kini sebagian telah ditanami kopi dan tebu. Perkebunan teh tersisa sekitar 600 hektar.
Hasil dari perkebunan ini, terutama teh nya pemasarannya 90% ekspor. Ada 16 negara tujuannya, dan yang terbesar adalah ke Belanda.
Oleh Belanda hasil teh perkebunan ini dipakai sebagai bahan baku lipton tea.
Dari teh yang cukup murah setelah jadi Lipton, cukup mahal harganya.
Area perkebunan ini dilengkapi dengan Hotel dan cottage keluarga, Pusat informasi, Masjid, House of Tea, kolam renang, convention hall, toko penjual makanan dan tentu saja pabrik teh yang masih dalam bentuk bangunan aslinya.
Pegawainya sebagian besar adalah penduduk lokal. Total seluruh pegawai, dari pemetik teh(yang paling banyak), yang bekerja di pabrik hingga penjaga tiket masuk kurang lebih ada 400 orang.
Disediakan pula perumahan karyawan di kawasan ini sekitar 200 rumah, sisanya tinggal di luar perkebunan tapi masih di desa terdekat. Ada Taman Kanak-kanak, taman bermain juga lapangan tenis.
Walau demikian, suasana di perkebunan ini cukup tenang selain hawanya yang dingin dan sejuk.
Perkebunan ini milik PTPN 12. Sama seperti perkebunan kopi di Jember. Bedanya, kopi yang ditanam di Lawang ini berjenis Arabica, yang di Jember berjenis Robusta.
Sementara teh nya diberi nama teh Rolaas. Rolas dalam bahasa Jawa berarti dua belas. Rolaas juga melambangkan PTPN 12 yang memiliki kawasan ini.
Ada teh bubuk, teh celup original, rasa vanilla dan jasmine tea. Harga sekotak teh celup dengan isi 25 sachets sekitar Rp 8000,-. Sementara teh bubuk Rp 12.000,-
Teh putih Rolaas juga ada. Fungsinya untuk menurunkan tekanan darah, kolesterol dan sebagainya. Harga sebotol kecil Rp 35.000,-
Puas berkeliling kebun, juga hotel, tea house aku membeli beragam teh untuk kucoba di rumah.
Beruntung bertemu pegawai yang bisa aku wawancarai, mengingat aku kesana tanpa persiapan yang cukup.
Oh ya, sebelum lupa, harga tiket masuk ke kawasan Agro wisata ini di bandrol Rp 10.000,- tiap orangnya.
Cukup murah untuk menikmati 700 hektar perkebunan dengan segala isinya.
Sayangnya wahana lain sedang tutup jadi tak tahu apakah membayar lagi untuk masuk ke wahana lain.
Hotelnya lebih banyak di sewa kantor yang mengadakan pelatihan. Tak terlalu besar, hanya dua lantai dengan view kebun teh yang luas.
Akhirnya aku harus akhiri petualangan di kebun teh ini karena hari sudah sore.
Senang rasanya bisa menghirup udara segar di sini.
Perjalanan pulang yang kutempuh sama dengan jalan berangkat tadi. Melewati jalan aspal yang tak terlalu lebar, juga rumah peristirahatan Belanda(villa) bergaya retro.
Hujan mengguyur begitu deras sepanjang perjalanan pulang. Alhamdulillah, akhirnya tiba dengan selamat di rumah.
86-2017
Comments
Post a Comment