Masjid 'Tiban'
Usai salat dzuhur aku berangkat. Seperti biasa tanpa rencana.
Daftar tujuan memang sudah ada, tapi kapan akan mengunjungi itu yang tak pernah direncanakan.
Hari itu, hari dimana puncak arus mudik terjadi. Melewati stasiun Kereta Api, luar biasa ramainya. Begitupun tempat lainnya.
Beruntung jalanan ke arah Lumajang tidak sepadat ke arah Malang.
Seperti biasa penunjuk jalanku bicara banyak hal, termasuk PT. Pindad yang baru terlewati. Deuh !!!
Andai tahu, pasti aku minta berhenti di situ dulu. Tapi ya sudahlah, mungkin lain kali.
Setelah melewati lima pemakaman besar, sampailah kami di Desa Sananrejo. Agar tak kebablasan, aku selalu sempatkan bertanya pada penduduk sekitar.
Alhamdulillah, kurang 2-3 km lagi kata mereka.
Kuikuti petunjuk yang diberikan mereka. Ternyata tak sulit menemukan lokasi karena banyak petunjuk untuk kesana. Ketika berbelok ke jalan yang di penuhi bus pariwisata, aku sudah bisa menduga bahwa aku berada di arah yang benar.
Kemudian mengikuti petunjuk, aku masuk ke daerah perkampungan yang banyak dipenuhi penjual pernak-pernik dan makanan. Dari baju, tas, topi, keranjang hingga kripik, ice cream, buah-buahan dan bakso semua ada di sana.
Jalanan yang hanya bisa dilalui mobil searah, cukup padat berjubel ditambah oleh pengunjung dari bermacam daerah yang berjalan berombongan.
Sementara bus pariwisata telah terparkir rapi di luar perkampungan.
Cukup panjang jalan perkampungan kecil itu hingga ke tujuan. Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat di antara banyaknya pengunjung di akhir liburan lebaran ini.
Halamannya cukup luas. Ada toko souvenir yang berisi kaos, payung, mug, air berkah, dan sebagainya.
Yang suka pipis tak perlu kuatir, karena banyak toilet yang tersebar.
Untuk memulai 'tour', pengunjung diwajibkan lapor di meja informasi. Setelah mendapat 'tiket' baru boleh masuk. Tak ada pungutan sepeserpun untuk masuk kesana. Bahkan parkir kendaraan sekalipun tak dipungut bayaran.
Di meja informasi itu aku mulai mencari tahu banyak hal alias wawancara, dan mereka bilang untuk tahu lebih mendalam di anjurkan ke lantai 4, di mana ada santri yang lebih banyak tahu.
Akupun segera bergerak. Di pintu masuk, ditulis untuk melepas alas kaki dan dianjurkan alas kaki dibawa masing-masing pemilik.
Baru sadar kenapa di perkampungan tadi ada yang menjajakan tas 'kresek' untuk membungkus alas kaki.
Di lantai satu ada akuarium yang berisi bermacam ikan yang dapat dinikmati para pengunjung. Namun dilarang untuk memberi makanan pada ikan.
Selalu ada papan petunjuk arah kemanapun. Dari petunjuk tempat istirahat pria dan wanita, yang tentu saja terpisah, arah naik ke lantai berikut, juga arah turun/keluar hingga toilet pria dan wanita. juga musholla dan tempat wudhu.
Di setiap lantai !
Pengunjungpun bebas mengambil foto dimanapun.
Tak ada tempat apapun yang dilarang untuk difoto.
Sesampai di lantai empat, aku bertemu para santri senior yang menggantikan Ibu Nyai, sang pemilik tempat ini, yang baru saja beristirahat setelah seharian menerima tamu lebaran.
Setelah kusampaikan maksudku, mereka dengan senang hati mempersilakan aku duduk dan mulai 'wawancara' ala Oma kepo.
Masjid ini di rintis sejsk tahun 1963 oleh KH. Achmad Bahru Mahdholubin Sholeh. Warga asli desa Samanrejo. Beliau bukan hanya perintis, juga pemilik dan 'arsitek"nya.
Orang sekitar menyebut Masjid Tiban. Tiban dalam bahasa Jawa bermakna jatuh. Dalam arti lain, masjid ini di sebut masjid yang 'tiba-tiba' ada atau jatuh dari langit. Entah siapa yang memulai 'gosip' itu.
Pada awalnya hanyalah sebuah musholla.
Lalu berkembang sebagai pondok pesantren dan terdaftar resmi di Departemen Agama pada tahun 1978. Tentu dengan santri yang masih sedikit dan hanya dari warga sekitar.
Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri 'Asali Fadlaailir Rahmah, itu namanya.
Pembangunan gedung dimulai tahun 1987 saat Kyai Achmad selesai salat istikharah mendapat petunjuk. Sempat terhenti pembangunannya dan dilanjutkan di awal tahun 1992.
Luas Masjid dan pondok pesantren ini di dalam pagar sekitar 6 hektare!
Di dalam pagar saja, yang di luar masih banyak berupa kebun/hutan kecil yang ditumbuhi beragam tanaman.
Santri yang masih dari kampung sekitar awalnya hanya belajar ngaji biasa.
Seluruh pembangunan di danai secara swadaya dari para santri, jamaah dan dana pribadi pemilik.
Saat ini santrinya berjumlah kurang lebih 350 orang, yang terdiri dari santri bujang, santri yang sudah berkeluarga hingga anak-anak para santri.
Pendidikan formal yang ada di pondok ini baru di tingkat PAUD(Pendidikan Anak Usia Dini). Rencananya tahun depan akan didirikan Taman Kanak-kanak.
Santri yang mondok disini tak dipungut biaya sepeserpun. Mereka ini santri yang 'ngawulo'(mengabdi) di pondok ini.
Disamping ada santri 'tetap', ada pula santri 'kalong' yang belajar selama beberapa bulan lalu pergi.
Juga ada santri 'jamaah' yang hanya datang saat ada acara di pondok pesantren ini.
Setiap hari besar Islam, selalu diadakan acara di pondok pesantren ini. Seperti pengajian untuk umum yang biasa digelar di lantai 5, atau juga istighosah yang digelar di lantai 4.
Pondok pesantren ini berdiri di atas tanah pribadi sang pemilik. Dari awal dibina langsung oleh beliau hingga wafat di tahun 2010.
Dan sejak 2010, sang istri yaitu Nyai Hajjah Luluk Rifqoh melanjutkan tugas suami memimpin pondok pesantren ini.
Kyai Achmad memiliki 5 anak, satu lelaki dan 4 perempuan. Putra sulung dan satu-satunya lelaki wafat saat menjalankan ibadah haji. Sementara ini tiga putrinya telah menikah dan memberikan 15 orang cucu.
Seluruh keluarganya tinggal di pondok pesantren bahu membahu membantu ibunya.
Segala keperluan menjalankan pesantren ini semua dikelola oleh para santri yang mengabdi. Ada bagian kebersihan, bagian memasak dan sebagainya.
Prinsip yang sangat dipegang teguh untuk semua pembiayaan disini adalah TIDAK MEMINTA-MINTA, TIDAK TOMAK/MENGHARAPKAN DAN TIDAK BERHUTANG.
Beberapa pejabat daerah dan juga lainnya yang pernah datang berkunjung, dan hendak memberi sumbangan dengan 'syarat' semua ditolak.
Jika ingin berinfak dan bersedekah tentu saja dipersilakan.
Pondok pesantren dan Masjid yang dibangun tanpa menggunakan alat berat sama sekali ini, tak mau masuk dalam ranah 'kepentingan' duniawi dengan meminta-minta atau menerima sumbangan berpamrih.
Masjid dan pondok pesantren ini dibangun tanpa perencanaan, tanpa master plan dsb. Semua dibangun atas dasar istikharah. Yang menjadi dasar pembangunannya adalah fungsi rohani.
Bangunan ini sekarang mencapai 11 lantai.
Satu lagi yang berbeda disini, tak ada foto sama sekali. Bahkan foto sang pendiri, yang biasanya terpampang di pondok pesantren lainnya.
Ketika aku tanyakan kenapa*walau sebenarnya sudah tahu apa jawabannya, mereka berkata,"Kami menghindari pengkultusan"
Sesuai dengan fungsi rohani, membersihkan segala penyakit hati.
Ya...
Seperti pesan guruku.
"Berbuat baik itu tidak membutuhkan pujian dan tidak terganggu oleh su'udzon."
Yang sangat menggangguku adalah pengunjung. Di ingatkan beribu kali lewat pengeras suara untuk tidak membuang sampah sembarangan, juga di ingatkan bahwa kebersihan adalah bagian dari keimanan, tetap saja membuang sampah seenaknya. Dari bungkus makanan kecil, botol air minum dan sebagainya.
Mereka tak punya kepedulian sama sekali. Sudah gratis, diminta menjaga kebersihan saja susahnya minta ampun.
Rasanya ini sudah jadi 'kebiasaan' sebagian besar warga kita. Jorok!
Lihat dimanapun tempat wisata dan fasilitas umum, selalu kotor.
Sepanjang aku berkeliling di Masjid dan Pondok Pesantren ini, lantai dan hampir semuanya bersih. Yang membuat kotor adalah sampah yang ditinggalkan pengunjung.
Sedih rasanya, padahal tempat sampah di sediakan dimana-mana.
Masih teringat kata santri senior tadi,
"Jarang sekali ada orang kita punya kepedulian terhadap lingkungan. Apalagi kepedulian pada kebenaran seperti belajar tentang sejarah.
Yang paling jelas ya tentang masjid kami yang disebut masjid Tiban ini, seolah yang membangun adalah bukan manusia. Padahal 100% ini hasil bangunan manusia.
Mereka berbondong-bondong datang kesini, tak ada yang mau mencari tahu kebenarannya dengan bertanya kepada kami seperti yang ibu lakukan.
Semua hanya datang untuk berfoto-foto atau ingin bertemu Nyai untuk beragam kepentingan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya. Pahlawan tentu saja ada karena sejarah. Kenyataannya sedikit sekali orang kita yang mau belajar sejarah negaranya sendiri."
Rasanya teduh melihat wajah-wajah para santri disini yang begitu bercahaya, halus bertutur kata dan santun.
Dari yang menjaga parkir hingga yang di atas semua begitu.
Bisa jadi semua karena ajaran membersihkan hati itu sudah menancap erat pada mereka.
Cukup banyak pelajaran yang kudapat hari ini. Ketika aku pamit, para santri berdiri takzim membalas salam dariku.
Malang, 2 Juli 2017
#84-2017
Comments
Post a Comment