Topeng Malangan - Sebuah Warisan Budaya



Alhamdulillah masih diberi kesehatan hingga hari ini.

Beberapa hari terakhir Nena marathon menemui beragam nara sumber untuk menulis artikel tentang kebudayaan yang makin jarang diberi perhatian.

Padahal sebuah warisan budaya itu nilainya sangat luar biasa bagi generasi masa depan. Kekayaan tak ternilai harganya bagi bangsa dan negara tercinta ini.

Beberapa waktu lalu setelah bertemu dengan pemilik Rumah Makan berkonsep sejarah di daerah elit kota ini dan juga pemilik padepokan yang mahsyur di Tumpang, hari ini, Nena bertemu Sang calon penerus  'Maestro' pembuat topeng Malangan.




Mbah Karimun, nama besar seorang perintis topeng khas Malangan. Berasal dari Dukuh Kedung Monggo - Desa Karangpandan kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang. Awalnya dijalankan oleh Mbah Serun, orangtuanya.

Mbah Karimun mengawali kerajinan pembuatan topeng ini awal tahun 1970. Puncaknya di tahun 1978 menjadi wakil Jawa Timur di Ajang Festival Kesenian Tradisional se Indonesia. Beliau telah meninggal tahun 2010 lalu.

Beliau banyak mengajarkan ketrampilannya pada warga sekitar tempat tinggalnya. Hingga tak putus keberadaan penerus dan pewaris ketrampilannya membuat topeng Malangan hingga sekarang.

Hebatnya ketrampilan tersebut terus diturunkan pada anak keturunan murid-muridnya juga. Hingga jadi semacam tradisi di kampung yang akhirnya diberi nama 'Sentra Kesenian Topeng Malang'.




Kampung yang cukup tenang dengan warga yang masih saling mengenal satu dengan yang lainnya. Hingga kita bila bertanya siapa yang kita cari di sana, hampir semua tahu dan menjawab dengan detail dimana orang itu tinggal.
Kampung ini keberadaannya kurang lebih 10 km dari Kota Malang.

Setelah Mbah Karimun meninggal dunia, tongkat estafet dilanjutkan oleh salah satu putra dari desa yang sama. Yang masih terhitung sebagai cucunya.

Namanya Handoyo, berusia awal 40 tahunan. Bapak dari dua putri yang juga sudah menapak mengikuti jejak seni ayahnya. Bagaimana tidak, karena ibu mereka juga pesinden dan mahir memainkan gamelan. Darah seni mereka tak mengherankan bila begitu 'deras' mengalir.


Handoyo adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Bahu membahu bersama kakak-kakaknya dalam melestarikan warisan budaya khas Malang yaitu Wayang Topeng Malangan.

Handoyo bersama istri dan dua putrinya, juga kakak perempuannya tanpa kenal lelah menghidupkan terus warisan budaya dari Malang ini.

Disamping mahir membuat topeng khas Malangan, Handoyo juga mahir menari. Bersama Aryati, kakaknya, melatih tari sekitar 150 muridnya setiap hari Minggu.

Muridnya terdiri dari 100 anak-anak yang mulai berlatih sejak pukul 08.30 - 10.30 WIB. Anak-anak yang berasal dari kampung setempat dan luar kampung.
Anak-anak ini awalnya diberi pelajaran tari kreasi dulu sebelum akhirnya diberi pelajaran khusus tari topeng.

Sementara murid dewasa berjumlah sekitar 50 orang yang mulai berlatih tari di pukul 10.30 hingga selesai.

Semuanya tanpa dipungut biaya sepeserpun!.



Diluar melatih tari, kegiatan lain Handoyo adalah membuat topeng khas Malangan.
Ciri khas topeng Malangan adalah ada pada warnanya, ukirannya lebih banyak dan terdapat cula pada atas dahi topeng.

Topeng Malangan adalah perwujudan tokoh dalam cerita Panji Asmoro Bangun atau lebih dikenal sebagai Ino Kertapati, seorang Ksatria dari Kerajaan Jenggolo. Bercerita tentang pengembaraannya untuk mencari istrinya Dewi Sekartaji atau yang lebih dikenal sebagai Chandra Kirana.

Bahan pembuatan topeng Malangan ini berasal dari beberapa macam kayu.
Ada kayu Sengon, kayu Nangka, kayu Beringin juga kayu Mentaos.

Pembuatan topeng berkisar antara 3 hari hingga satu minggu. Topeng khas Malangan ini dijual dari harga Rp 150.000,- hingga Rp 1.000.000,-.
Peminatnya selama ini seimbang antara warga domestik dan ekspatriat.

Setiap topeng memiliki karakter. Tentu saja mewakili karakter manusia.

Handoyo juga membuka paket pembelajaran di padepokannya. Antara lain:
- pembelajaran membuat topeng
- pembelajaran mewarnai topeng
- pembelajaran memainkan alat musik gamelan.

Juga ada acara menonton tari dan wayang.

Wayang topeng ini cukup sering diundang tampil di mana-mana, dan padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun ini menjadi satu-satunya padepokan di Malang raya yang pernah diundang pentas hingga keluar negeri.

Tahun 2013, diundang ke Thailand dan terakhir mereka manggung di Moscow selama seminggu.



Awal Agustus nanti mereka akan tampil di Jakarta untuk memeriahkan acara Hari Ulang Tahun ASEAN.

Untuk undangan luar negeri mereka punya kru inti sekitar 10 orang saja. Terdiri dari 6 penari yang mahir memainkan 2-3 karakter topeng, juga 4 orang yang mahir bermain beberapa alat gamelan sekaligus.

Setiap akan tampil tentu diawali dengan 'ritual' yang bertujuan agar mereka diberi kelancaran. Sebagaimana juga ritual untuk topeng yang baru jadi.

Sempat saya bertanya, seandainya setiap topeng yang baru selesai dibuat tak diberi ritual, adakah sesuatu yang akan terjadi. Handoyo menjawab, tidak akan terjadi apa-apa. Hanya saja saat dipakai menari 'karakter' topeng tersebut seperti tak bisa 'menyatu' dengan sang penarinya.

Syarat lain untuk tampil menarikan topeng Malangan, sang penari harus dalam keadaan bersih. Terutama yang perempuan, tak diijinkan menarikannya bila sedang mendapat haid.

Wayang topeng Malangan ini dilakukan sesuai pakem, tak ada kreasi apapun.
Sesuai pakem bermakna bahwa dari dulu hingga sekarang semua dilakukan sesuai aslinya.
Sementara tari kreasi, menyesuaikan sesuai keinginan 'pasar'.
Ini jawaban Handoyo saat saya bertanya tentang perbedaan tari topeng Malangan dengan tari topeng Didi Nini Thowok.

Untuk durasi tayang wayang topeng ini bisa disesuaikan dengan permintaan.
Aslinya tentu saja semalam suntuk, namun sesuai perkembangan zaman menjadi satu jam saja, namun bisa juga dilakukan selama 10 menit.

Padepokan Asmoro Bangun ini dibangun pemerintah kabupaten Malang, namun tanahnya milik pribadi(keluarga Handoyo).
Saat ini terus menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan terkemuka di kota Malang.

Dengan Universitas Ma-Chung yang membuatkan banner dan juga website, juga menjalin kerja sama dalam penelitian mahasiswanya tentang topeng Malangan ini.





Begitupun kerja sama dengan Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang untuk menunjang penelitian mahasiswa asing yang sedang kuliah di sana.

Tanggal 30 Juli lalu, Padepokan Asmoro Bangun mendapat kunjungan delegasi Universitas Mercu Buana Jakarta sebanyak 69 orang.
Juga kunjungan delegasi Universitas Trisakti Jakarta sebanyak 60 orang.

Handoyo mengundang saya untuk mampir ke rumahnya yang khas Jawa dengan gebyoknya. Di dalamnya sangat rapi dan bersih.








Ada seperangkat gamelan juga lemari yang berisi topeng kualitas terbaik yang sudah jadi. Tentu saja topeng yang siap untuk dibeli.

Ada topeng berwarna hijau yang membuat saya penasaran karena harganya paling mahal. Ternyata topeng tersebut mewakili tokoh 'Laler Ijo'. Sementara yang merah mewakili karakter 'Lembu Gumarang'.

Hmmm... cukup menyenangkan berada di rumah Handoyo yang cukup menonjol diantara barisan rumah di sekitarnya.
Handoyo mengatakan, rumah ini sebagai contoh untuk para seniman budaya tradisional, bahwa menjadi seniman di negeri ini tidak selalu hidup miskin.

Pesan yang sarat makna, mengingat banyaknya asumsi bahwa pelestari budaya biasanya hidup dalam keadaan sangat sederhana, bahwa menjadi pengabdi seni budaya itu harus siap 'kere'.

Handoyo yang lulusan SMA ini mengatakan, ada penonton atau tidak, paguyuban Seni Topeng Asmoro Bangun tetap mengadakan pertunjukan 'Gebyak Senin Legi' setiap bulannya.
Agenda yang sudah tersusun rapi selama satu tahun.

Jadi, bila anda ingin melihat pentas wayang topeng Malangan, silakan datang ke Padepokan Seni Topeng Asmoro Bangun yang di mulai pukul 19.00 hingga 21.00 wib. Agustus nanti jatuh pada tanggal13.








Jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan seni budaya negeri sendiri.
Jangan sampai setelah di klaim negara lain kita baru berteriak marah.

Alhamdulillah setelah puas berbincang dengan keluarga Handoyo yang ramah dan hangat, kamipun pamit penuh rasa syukur karena mendapat 'saudara' baru.





#SeniBudaya


Malang, 11 Juli 2017
Omarina-92





Comments

Popular Posts