Ibu Percaya?




Beberapa waktu lalu, aku bepergian dengan travel dari Surabaya ke Malang. Kebetulan sedang sepi dan hanya ada dua penumpangnya. Aku dan seorang perempuan lainnya.

Sang pengemudi, seorang pensiunan dari sebuah perusahaan. Masih sehat, tegap dan rapi penampilannya. Terlihat juga cukup terdidik.

Perempuan yang bersamaku, duduk di depan bersama sang pengemudi. Aku duduk sendiri di tengah.

Saat aku masuk mobil, sang pengemudi berkata,
"Nyari alamat ibu sih enak dan mudah. Jalannya juga lebar. Rumahnya bagus ya, Bu"
"Bukan rumah saya, Pak. Rumah keponakan saya"

"Sudah lama bu tinggal disitu ponakannya?"
"Lumayanlah"

Awalnya kukira cuma percakapan basa-basi. Ternyata percakapan kecil itu untuk menyindir ibu yang di depan.

Sang pengemudi kesal mencari alamat, sebut saja Ibu Fulana, yang berada di gang sempit yang ramai tapi saat dijemput sang ibu belum siap hingga dia harus menunggu cukup lama. Sementara banyak mobil yang berlalu lalang di gang sempit itu.

Akupun diam seperti biasa saat basa-basi berakhir.
Ibu Fulana ini rupanya suka bicara. Dia mulai tanya umurku. Lucunya yang nyolot sang pengemudi,
"Perempuan jangan ditanya umur, Bu. Ga suka, Kurang sopan lagi"

Aku senyum dan menjawab apa adanya.
Ibu Fulana berkata lagi,
"Wah ternyata kita seumuran, Bu"
"Tapi Bu Rina kelihatan lebih muda lo," sang pengemudi nyamber lagi.

Aku lama-lama geli dan sedikit penasaran kenapa sang pengemudi ini seperti kesal banget dengan bu Fulana.

Pertanyaan pun berlanjut,
"Bu Rina sulungnya masih kuliah?"
"Sudah nikah, Bu. Saya sudah punya cucu juga"

"Wah, anak sulung saya baru 20 tahun, Bu. Saya telat nikahnya. Sudah diatas 30 tahunan"
Eh si pengemudi nyeletuk lagi,
"Bu Rina cantik sih makanya cepat laku"

Bu Fulana tak mau kalah,
"Saya telat nikah karena ngejar karir, Pak. Ambil S2 juga. Bersyukur suami saya itu sabar dan cinta sama saya dan anak-anak. Sampai sekarang kemanapun saya pergi selalu ditanya detil, kemana- jam berapa berangkat - dengan siapa sampai berapa lama, saking kuatirnya kalau ada apa-apa sama istrinya"
Sang pengemudi ngakak langsung. Cukup mengejutkanku.

Aku memilih diam melihat 'Tom and Jerry' di depanku. Malah pura-pura aja nulis di tab. Biar ga diajak serta bicara.

"Bu, lelaki yang seperti itu ibu bilang cinta?... Hahaha...! Jangan naif, Bu"
"Ya iyalah. Suami saya ini telphone rutin bila saya terlambat. Bila dia di luar kota
juga. Dia maunya sama saya terus kemanapun, tapi ya karena sama-sama punya kerjaan, jarang bisa bersama terus"

Sang pengemudi makin keras tertawanya.
"Saya ini laki-laki, Bu. Jangan naif mengartikan perhatian dan kebaikan yang berlebihan dari lelaki. Itu tanda ada yang dia sembunyikan. Percaya deh!"

"Ya ga lah,Pak. Tiap orang kan beda. Suami saya memang sangat cinta pada saya. Tiap jauh dari saya selalu telphone dan bilang bila ga enak tidur sendiri"
"Berarti ibu dinikahi cuma karena sex dong!"

Skakmat!

Bu Fulana diam, tak lama bicara lagi.
"Ya ga lah, itu artinya dia puas dengan istrinya. Makanya dia cinta dan tak suka berjauhan"

Ngakak lagi sang pengemudi.

"Bu, saya punya istri yang juga saya sayangi, tapi saya juga punya simpanan perempuan lain. Ibu tahu berapa lama saya punya istri lain? 15 tahun! Dan istri saya tak pernah tahu sampai sekarang karena sering saya gombalin dengan bahasa yang dipakai suami ibu! Naif sekali ibu ini"

Skakmat! Yang kedua!

Bu Fulana diam mencoba mencari rangkaian kata lagi.
"Ah pokoknya saya percaya sama suami saya. Dia cuma cinta sama saya"
Ternyata bu Fulana menyerah.

Sang pengemudi melihatku dari kaca.
"Bu Rina gimana suaminya?"
"Alhamdulillah baik-baik saja," jawabku singkat.

"Percaya dengan cerita bu Fulana tentang suaminya?"
"Saya ga kenal, jadi saya tak bisa berkomentar"

"Tuh kan,Pak? Berarti bu Rina percaya kan kalau suami saya cinta pada saya?"
Bu Fulana mencari 'dukungan'.

Aku cuma tersenyum dan kembali pura-pura sibuk menulis.

Tak lama, Bu Fulana sampai ke tujuan. Tinggal aku berdua dengan si pengemudi.
Tak lama berselang sang pengemudi bersuara lagi,
"Ibu tadi S2 tapi menurut saya goblok"

Aku tak menjawab.

"Lelaki begitu kok dibilang cinta mati..hahaha...."

Aku masih diam.

Aku tak membela apalagi berpihak pada siapapun. Aku sudah cukup melihat betapa banyak lelaki yang dikatakan sang pengemudi tadi.

Di rumah seperti anjing kesetiaannya, manis dan menyenangkan. Di luar berbeda lagi. Ada kehidupan lain yang dia juga nikmati.

Banyak perempuan yang sudah puluhan tahun menikah dan merasa 'aman' hingga tak lagi mampu membaca 'situasi'.
Menganggap cinta suaminya hanya untuknya. Terlebih bila terus dimanja dan dipenuhi segala permintaannya.

Ah.. beberapa sahabatku terjungkal saat akhirnya tahu sang suami punya 'rumah tangga' rahasia bertahun-tahun.

"Bu Rina, ini rumahnya?"
Pertanyaan sang pengemudi membuyarkan ingatanku.
"Oh iya,Pak"

"Itu suaminya yang buka pintu,Bu?"
"Ya,Pak"
"Ganteng juga, cocok sama ibu"

Aku cuma tersenyum.
"Terima kasih,Pak"
"Sama-sama"

Si pengemudipun berlalu.

                   
Sesampai di rumah, saat aku sendiri entah kenapa aku teringat tentang si pengemudi dan ibu Fulana. Begitu 'sengit'nya si pengemudi bersikap dan bertutur pada ibu Fulana. Kalau mau jujur, Ibu Fulana di mataku memang naif.

Dia sempat bercerita bahwa dia dibesarkan oleh seorang ibu yang tak suka dibantah. Seorang ibu yang berjuang sendiri membesarkan 4 anaknya yang kebetulan perempuan semua.

Bagaimana ibunya sangat keras menginginkan semua anaknya menjadi sarjana. Tak bolehkan menikah sebelum sarjana dan punya pekerjaan, agar tangguh saat kapanpun ditinggal pasangannya.

Bu Fulana cerita bagaimana setiap lamaran yang datang saat kuliah ditolak ibunya. Hingga saat mereka usai sarjana sudah ditinggal menikah para pelamarnya dulu.

Akhirnya semua telat menikah. Bahkan calon suamipun harus dengan persetujuan ibunya. Superioritas ibunya begitu membekas.

Entah kenapa yang aku lihat ibu Fulana bukan type perempuan superior. Dia begitu patuh pada anaknya dan suaminya.

Dia bercerita sendiri bagaimana dia selalu memenuhi semua keinginan anaknya, selalu percaya pada semua perkataan suaminya. Selalu ingin menyenangkan keluarganya.
Peran superioritas ibunya di'alih'kan pada suami dan anak-anaknya tanpa sadar.

Si pengemudi tak menganalisa lebih dalam tentang 'kenapa', tapi dia langsung memberi kesimpulan atas apa yang dia lihat dan dengar.
Itulah kenapa aku memilih diam.

Bukan soal kasihan atau tidak, tapi benar adanya sedikit saja kesalahan mendidik, dampaknya bisa jatuh dalam beberapa generasi.

Tidak ada orangtua yang sempurna.
Inilah hidup yang nyata, bahwa kita tak bisa memilih siapa orangtua kita. Kitalah yang harus terus belajar untuk memperbaiki setiap kesalahan itu sedikit demi sedikit ibaratnya menjahit, untuk menjadikan utuh.

Tentu tak akan pernah ada kesempurnaan itu, sebagaimana benang yang ada untuk jahitan kita. Adakalanya benang itu terkoyak lagi.
Dengan kemauan, juga kebesaran hati kita tak boleh lelah untuk menjahit dan merapikannya kembali.

Hidup adalah pembelajaran. Kehidupan adalah sekolah terbaik.
Dan masing-masing orang adalah buku-buku bertebaran yang bisa kita pilih untuk dibaca atau hanya dilihat saja.



#80-2017
Malang, 1 Juli 2017

Comments

Popular Posts