Orem-Orem Singosari
Beberapa kali aku mendengar tentang makanan yang dipuji sebagai makanan unik dan enak, juga jarang ditemukan di tempat lain. Namun baru hari itu aku berniat kesana.
Tentu dengan membawa bekal untuk mencatat segala hal yang ingin kutahu.
Masih pukul 9 pagi saat itu. Pengunjung sudah cukup ramai.
"Selamat pagi, Pak." Sapaku pada lelaki yang sedang menyiapkan dua porsi makanan.
"Pagi, Bu"
"Ini apa, Pak yang mau disajikan?"
"Ya ini orem-orem, Bu"
"Sebentar, Pak. Bukannya orem-orem itu yang seperti lontong diisi daging ikan atau ayam itu?"
"Itu arem-arem namanya,Bu"
"Oh...."
Lelaki itu tertawa kecil melihat kebingunganku.
"Pak, saya boleh tahu dan tanya-tanya ga?"
"Boleh. Sebentar lagi ayah saya datang, kalau ibu ada di belakang itu. Ibu bisa dapat info lebih akurat bila bertanya pada mereka."
"Oh begitu, sampeyan membantu ayah dan ibu berarti."
"Saya masih libur mengajar, jadi ya membantu orangtua saja dulu."
"Boleh saya lihat dulu ya cara penyajiannya?"
"Monggo"
Akupun melihat lelaki yang ternyata anak kedua dari pasangan penjual orem-orem itu dengan lincah mengiris ketupat, lalu di atasnya diberi tauge rebus, disiram kuah seperti kari yang berisi irisan tempe kotak-kotak kecil.
"Boleh saya foto, Pak?"
"Boleh, tapi ini belum lengkap, Bu. Sebentar ya"
Lelaki itupun melanjutkan dengan memberi kecap dan taburan kedelai yang digerus kasar, baru siap di foto sebelum diantar ke meja sang pembeli.
Waaah...cukup enak dan unik.
Di meja disiapkan mendol, tempe goreng dan telur asin untuk tambahannya. Tentu ada sambal juga bagi yang suka pedas.
Aku sempat mencicipinya sebelum menemui ibu Mahmudi.
Dengan ramah ibu yang masih cantik di usia senja ini menemaniku. Kami duduk berhadapan.
"Sejak kapan ibu mulai usaha ini?"
"Sejak awal nikah sampai sekarang. Sekitar tahun 1975."
"Apa dari awal di tempat ini?"
"Tidak. Awalnya di pasar besar, lalu pindah di depan polwil. Di sini baru sekitar 6 tahun"
"Ini rumah sendiri atau kontrak?"
"Kontrak. Rumah saya dekat sini"
"Saya lihat cukup ramai. Apa mahal kontrakannya, Bu? Atau di naikkan drastis begitu tahu ramai pembeli?"
"Tiap tahun pasti naik, Bu. Lumayan juga sih"
"Tapi masih nutup kan dengan hasil penjualan,Bu?"
"Alhamdulillah"
"Siapa yang punya resep ini?"
"Saya, Bu"
"Jadi ibu yang memasaknya?"
"Ya"
"Bahan baku banyak tempe ya, Bu?"
"Iya. Dan semua tempe dari Sanan Malang' Pernah saya ganti tempe lain, pelanggan bilang tak enak. Jadi saya pakai tempe dari Sanan sampai sekarang"
*Sanan memang dikenal sebagai penghasil tempe yang enak di Malang.
"Jauh juga ya, Bu"
"Diantar tiap hari"
"Berapa banyak, Bu tiap harinya?"
"Sekitar Rp 150.000,-"
"Semua ibu bikin sendiri? Dari mendol hingga kuah isi tempe itu?"
"Ya"
*mendol ini makanan dari tempe yang dibumbui, digerus tempenya dan dibentuk oval memanjang.
Di Malang dan sekitarnya berbentuk lebih kecil daripada yang ada di warung ini.
"Taugenya sehari berapa banyak habisnya?"
"6 kilo"
"Kalau ketupat raksasa ini .. ibu juga buat sendiri?"
"Ya"
"Berapa kilo sehari?"
"10 kg"
"Setiap hari rata-rata terjual betapa piring?"
"200 piring"
"SubhanAllah! Luar biasa, Bu"
"Alhamdulillah"
Aku menatap wajah ibu yang lembut ini. Sang suami sudah tiba dan langsung beraksi meladeni para pembeli.
"Itu bapak, Bu?"
"Iya"
"Cocok sama ibu. Ganteng dan ibu juga cantik"
Sang ibu tersenyum tersipu.
"Berapa putranya, Bu?"
"Lima. Perempuan 3 lelaki 2"
"Ga ada yang niat melanjutkan usaha ini?"
"Belum"
"Yang itu putra keberapa?" Tanyaku menunjuk lelaki yang awal kutemui tadi.
"Nomor dua. Dia guru SD. Karena belum masuk dan mengajar, membantu kami"
"Yang lainnya kemana?"
"Yang mbarep ibu rumah tangga. Itu yang kedua guru, yang ketiga sedang ambil S2, yang no.4 skripsi dan yang kecil kelas 3 SMA"
"Alhamdulillah ibu, berkah putra-putrinya sekolah tinggi semua. Luar biasa"
Ibu Mahmudi tersenyum penuh haru.
Ah, tak tahan aku untuk tidak memeluknya.
"Semua dari rezeki orem-orem ini ya,Bu"
"Alhamdulillah. Yang penting kita jujur dan ikhlas saja. Karena niatnya memang untuk bisa menyekolahkan anak-anak setinggi mungkin"
Ah.. hampir jatuh air mataku mendengar cerita perempuan lembut yang tangguh ini.
"Ibu menikah usia berapa dengan bapak?"
"18 tahun, dan saya tak pernah tolah-toleh lagi sejak nikah"
"Barakallah, ibu"
"Semoga nanti ada putra atau putrinya yang melanjutkan usaha ini ya, Bu"
"InsyaaAllah setelah saya ajari, ada. Aamiin"
Kamipun berfoto berdua.
Sungguh, bangga rasanya kenal dengan ibu yang satu ini. Ibu tangguh yang memilih tetap berada 'setelah' suami dibanding maju sendiri.
Tuturnya lembut dan santun.
Berfoto pula dengan sang suami Pak Mahmudi.
"Bapak dan ibu, terima kasih sudah mau menjawab semua keingintahuan saya. Boleh saya bagi lewat tulisan ya?"
"Monggo"
"Barakallahu, Pak, juga ibu. Hormat saya untuk bapak dan ibu. Berkah selamanya. Insyaa Allah"
"Aamiin..aamiin.. terima kasih doanya, Bu Rina"
Akupun pamit pada pasangan yang bagiku cukup luar biasa. Tetap berdagang dengan jujur dan ikhlas.
Tetap ramah, rendah hati dan santun, walau penghasilannya tak sedikit setiap hari.
Keikhlasan itu kiat mereka, menghadapi pasang surut kehidupan. Dan tentu juga ketekunan.
Pelajaran kehidupan selalu berserak pada tiap orang. Tinggal kita mau memungutnya atau tidak.
Bagi yang melewati Singosari, silakan mampir ke warung sederhana di seberang pasar Singosari.
Tak perlu merogoh saku dalam-dalam untuk menikmati sepiring ketupat orem-orem yang khas ini.
Cukup dengan Rp 8.000,- saja.
Malang, 16 Juli 2017
01.24 wib
Omarina-97
Comments
Post a Comment