Kluyuran Jauh Pertamaku
Ibaratnya aku ini bertubuh perempuan, namun berpikir seperti lelaki.
Tubuhku tipis, berambut merah cepak, dan lebih sering berkaos oblong dan bercelana pendek kemana-mana. Itulah gambaran diriku saat kecil dulu.
Ketika hampir semua teman perempuanku hidup dalam kelengkapan orangtua yang tertata, tak berlaku untukku. Aku tumbuh besar bersama ayah dan tiga kakak lelakiku.
Siang hari aku bermain, dengan ataupun tanpa teman.
Aku tinggal di komplek perumahan yang bertetangga dengan area tambak. Belum ada portal saat itu, hingga penduduk dari daerah tambak bisa keluar masuk komplek dengan bebas.
Suatu hari, bersama si Mbok, pembantu rumah tangga di rumah, berjalan-jalan ke arah tambak.
Panas siang itu cukup menyengat, namun angin juga cukup semilir. Aku mengikuti Mbok dan berjalan disampingnya.
Menyusuri jalan setapak lumpur yang kering karena terik matahari. Hingga tiba di sebuah kampung.
Aku cukup heran, di daerah yang gersang ada pemukiman. Ada perkampungan dengan keluarga lengkap.
Anak-anak berlarian kesana kemari penuh tawa. Aku ikuti mereka, sementara si Mbok bercakap-cakap dengan beberapa orang di sana. Hingga satu hal menghentikan langkahku.
Ada kapal besar di sana. Ada laut di sana.
Aku terpaku.
Kapal kayu besar berlabuh di situ. Ada banyak lelaki bertubuh gempal saling bicara. Si Mbok tiba-tiba sudah ada disebelahku.
"Ini namanya kampung nelayan," bisiknya.
Aku tak menjawab. Mataku masih takjub dengan kapal kayu besar tadi. Mirip dengan hiasan yang dipajang di rumah teman-temanku.
"Ayo pulang, nanti kesorean sampai rumah dimarahi ayah," suara Mbok kembali terdengar.
Mbok menarik tanganku. Aku berjalan mundur sambil terus melihat kapal itu.
Hingga hilang dari pandanganku.
Aku membalik badanku. Kembali mengikuti langkah si Mbok.
"Jangan bilang ayah kalau habis main dari sini," si Mbok mewanti-wanti.
Aku tetap diam.
Pikiranku cuma pada kapal besar itu, yang baru kulihat pertama kalinya.
Aku tak pernah ceritakan ke ayah tentang kapal itu. Dari kecil aku tak terbiasa 'adu-adu'(mengadu).
Tanpa dipesan si Mbok pun aku tak akan cerita ke siapapun.
Kejadian ini sangat membekas di diriku.
Diam-diam aku suka kluyuran sendiri sejak saat itu bila hari minggu.
Si Mbok terkadang membuntutiku. Dia kuatir karena aku perempuan.
Aku tak peduli dibuntuti atau tidak. Melihat hal diluar keseharianku selalu menarik minatku.
Termasuk melihat kampung pengulung di pinggir rel kereta api. Ataupun orang-orang yang membangun rumah di pinggiran sungai.
Tak jauh dari komplek perumahan tempat aku tinggal juga banyak penduduk yang tinggal di area pemakaman. Dan semua itu menarik perhatianku.
Kejadian-kejadian ini membuatku suka menyendiri. Tak suka berkelompok. Hingga sekarang.
Terlebih temanku banyak yang tak mau berkumpul dengan orang kampung, terlebih dengan orang pinggiran.
85-2017
Comments
Post a Comment