Kecerdasan Menghadapi Masalah
Nur Rina Chairani - Arum faizatul umami
07 November 2017
07 November 2017
Bernas.id - Masalah, adalah kehidupan. Tak ada hidup yang tanpa masalah. Berwujud dalam nama lain yang disebut ujian. Tanpa masalah tak ada pertumbuhan. Dari bangun hingga tidur lagi, semua ada masalah yang saling menyambung.
Ketika masalah tak dibiasakan untuk segera diselesaikan, maka akan jadi gunungan yang tak jarang akan menjerat masa depan manusia itu sendiri. Sebaliknya jika setiap masalah, sekecil apapun namun langsung diselesaikan, akan membuat perjalanan hidup terasa ringan.
Mengingat banyaknya masalah yang akan datang menyertai di setiap tahapan usia, ada baiknya para orangtua mempersiapkan anak-anaknya untuk bisa bertahan dan mengatasi masalah apapun.
Ada kecerdasan intelektual(IQ),kecerdasan spiritual(SQ), juga kecerdasan emosional(EQ) yang mengukur kemampuan anak menguasai emosinya sendiri maupun hubungan dengan orang lain. Namun banyak yang melupakan kecerdasan satu lagi yang juga sangat berpengaruh, yaitu adversity quotient.
Adversity quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesulitan dan kesanggupan untuk bertahan hidup, kata lainnya adalah tidak mudah menyerah dalam menghadapi setiap kesulitan.
Harry (Hidayati, 2003) telah menemukan bahwa selain bahwa selain IQ (intelligence quotient) dan EQ (emotial quotient), memang ada unsur lain yang yang memiliki pengaruh besar dalam keberhasilan hidup atau karir seseorang yaitu AQ (adversity quotient).
Kita aemua tahu bahwa semakin tinggi karir individu, maka semakin banyak masalah yang dihadapi.
Terjemahan yang tepat untuk Adversity Quotient (AQ) ini adalah kecerdasan mengatasi kesulitan, kecerdasan mengubah masalah menjadi berkah, dan kecerdasan adver-sitas adalah beberapa ‘terjemahan’ yang digunakan kawan-kawan di Indonesia. Adversity sendiri punya sinonim nasib buruk, kemalangan, kesulitan, masalah dan sejenisnya.
Adversity quotient ini bisa kita mulai mengajarkannya dari bayi. Misalnya saja dalam proses makan, yang belajar tak hanya anak, tapi juga orangtua. Dalam proses berkenalan dengan makan, anak belajar untuk mengunyah makanan yang makin lama teksturnya bertambah keras.
Saat ia berusaha mengunyah, ternyata anak berusaha untuk menggerakkan hampir semua bagian mulutnya, dari lidah, rahang sampai bibir. Saat itu juga, ibu belajar untuk memberikan kesempatan pada anak untuk berusaha. Sayangnya, masih banyak ibu yang tak membiarkan anaknya kesusahan mengunyah daging. Saat terlihat anak kesulitan, sontak ibu mengambil sikap, “Udah, deh, makan yang halus-halus, saja!” dan makanan di piring anak pun berganti menjadi makanan lunak.
Urusan makan bisa dikatakan masalah yang sepele, tapi nyatanya banyak kemampuan yang dikembangkan di situ. Dari proses makan yang sederhana itu juga, anak mulai dikenalkan dengan ketangguhan.
Menurut penjelasan Saskhya Aulia Prima,M.Psi, Psikolog dari TigaGenerasi, Adversity Quotient adalah kemampuan anak untuk bangkit lagi setelah menghadapi masalah,
Kemampuan AQ ini ternyata sangat penting bagi anak. Sederhananya begini, saat anak terbiasa ditolong orang di sekitarnya dan tak berusaha sendiri untuk menghadapi masalahnya atau bangkit lagi dari masalahnya, maka anak pun akan berpikiran, “Ah, santai, ada mama atau papa yang bisa beresin,” atau anak akan menjadi terbiasa dengan ‘kemudahan-kemudahan. Ia tak akan mengenal yang namanya tantangan. Padahal, bila kemampuan AQ dimiliki anak, perkembangan yang anak dapatkan lebih jauh dari sekarang, baik dari segi sosial maupun emosi.
Lalu bagaimana mengajarkan kemampuan AQ pada anak? Di samping seperti contoh mengenal makan tadi, buat anak merasa tertantang dan biarkan ia menyelesaikannya sendiri.
Menurut Saskhya lagi, kendala terbesar dalam mengajarkan kemampuan AQ ini pada anak justru pada orangtuanya sendiri, terutama orangtua yang tidak tegaan.
*dari berbagai sumber
Comments
Post a Comment