Satu Kebohongan Menjadi Pembuka Kebohongan Yang Lain
Nur Rina Chairani - Ciptono Wahyu Prasetyadi
17 November 2017
17 November 2017
Bernas.id - Berbohong berarti menyatakan sesuatu yang tidak benar, sama dengan berdusta. Bohong, suatu yang akan terus ada selama dunia masih berputar. Pelakunya dari anak-anak hingga orang tua, hampir semua orang pernah melakukannya dengan beragam alasan. Faktanya juga, hampir semua orang tak suka dibohongi.
Kebanyakan, orang berbohong untuk melindungi kepentingan pribadi mereka. Walau mereka nantinya akan berdalih demi apapun, sekali melakukan kebohongan, maka seumur hidup orang tersebut akan terus menjadi penulis skenario kebohongan-kebohongan berikutnya.
Lalu ada orang yang sudah menjadikan bohong sebagai candu dalam kesehariannya, hingga dia sudah tak lagi mengenali kejujuran atau kebenaran dalam ujud apapun. Hidupnya terombang-ambing pada kebohongan demi kebohongan yang sudah menjadi kebutuhannya. Ada yang karena tak mampu menerima setiap kritik, dia mulai sibuk mempersiapkan kebohongan demi kebohongan demi menjadi orang yang dianggap sempurna.
Penelitian telah menunjukkan bahwa 12% orang dewasa mengakui bahwa mereka pernah berbohong. Dari sini terlihat bahwa tampaknya usia tidak menanamkan kebijaksanaan kepada banyak orang. Sementara 50% remaja mengakui pernah berbohong pada orangtuanya terkait masalah uang.
Walau berbohong menurut sang pelaku dianggap bisa memberikan keuntungan, pada hakikatnya kebohongan sama sekali tak ada keuntungannya. Di sisi lain, kebohongan hanya akan mengantarkan pelaku pada kenistaan di dunia juga di akhirat nanti, sebesar apapun harapannya untuk hidup bahagia.
Agama Islam begitu keras melarang perbuatan yang satu ini, bahkan bohong dikatakan sebagai pengantar sang pelaku menuju neraka. Jangankan berbohong untuk urusan serius, bahkan berbohong untuk membuat orang lain tertawapun dilarang keras.
“Celakalah orang yang berbicara, padahal ia berbohong untuk sekedar membuat orang-orang tertawa”.
Muslim yang taat, sebagai apapun dia, tidak akan pernah mau, apalagi sampai suka rela untuk melakukan kebohongan-kebohongan. Sebab, cepat atau lambat, kebohongan pasti menjerumuskan pelakunya pada kesengsaraan besar, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat.
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS. An-Nahl [16]: 105).
Merujuk tafsir ayat di atas, kebohongan hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada ayat Allah. Dan orang yang demikian tidak akan pernah mendapat petunjuk dari Allah.
Lihatlah di negeri ini, kebohongan dijadikan tontonan setiap hari oleh para pesohor dengan beragam latar belakang. Ibaratnya urat malu mereka sudah putus. Bagaimana derai air mata dicucurkan begitu derasnya demi menutupi kebohongannya atas nama didzolimi.
Tak hanya personal yang membiasakan kebohongan, bahkan beberapa mediapun yang harusnya bersikap netral ikut melakukannya untuk beragam kepentingan. Washington Post dua hari lalu menuliskan bahwa presiden Amerika telah melakukan kebohongan sebanyak 1628 kali sejak jadi presiden hingga 15 November 2017. Kira-kira media di sini ada yang bisa begitu detil menghitung kebohongan yang dilakukan para petinggi negeri ini?
Kebohongan dan kejujuran tak akan bisa menyatu. Perbedaannya sangat besar. Berbohong itu ibaratnya beban yang berat, namun anehnya banyak sekali yang menyukainya. Hingga akhirnya beban itu tak lagi mampu dia angkat, bahkan untuk menyeretpun dia akan kesulitan.
Kejujuran, sepahit apapun, bukan hanya menenangkan dan meringankan langkah kita menuju surga, namun juga akan selalu menjadi pemenang di ujungnya.
Comments
Post a Comment