Tak Ada yang Bisa Memenjarakan Pikiran dan Jiwa Kita
Nur Rina Chairani
11 November 2017
11 November 2017
Bernas.id - Apa yang terlintas di pikiran Anda saat mendengar kata penjara?
Pastilah yang terbanyak mengatakan sebagai tempat yang dipenuhi oleh para penjahat dengan segala macam kejahatannya. Perampok, pembunuh, pemerkosa, koruptor, penjahat narkoba, tahanan politik dan lain sebagainya.
Lalu, bagaimana dengan orang yang sedang atau pernah di penjara? Apakah seorang narapidana itu masih layak disebut sebagai orang baik? Apakah seorang narapidana selalu suram masa depannya saat ia keluar dari penjara?
Di dunia ini, salah atau benar menurut manusia, belum tentu sama dengan salah dan benar menurut Allah. Dari sejarah kita tahu, betapa kebenaran tak selalu berbanding lurus dengan kebebasan. Kebenaran ada kalanya dibungkam, ada kalanya bahkan dibunuh. Dibungkam dengan beragam cara, dan salah satunya adalah dengan dijebloskan ke dalam penjara.
Bagi seorang yang punya kepribadian yang kuat, tubuh boleh saja dipenjara, namun tidak dengan jiwa mereka. Ketakutan mereka hanyalah pada Allah semata. Siksaan, ancaman atau apapun kesakitan buatan manusia tak ada kuasa sedikit pun pada keyakinan kuat mereka.
Penjara, bagi yang memang tak tahu bagaimana memaknai hidupnya, adalah kungkungan yang sangat menyiksa. Namun sebaliknya bagi yang paham maka akan sebaliknya. Penjara bisa menjadi tempat kontemplasi yang akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa.
Kita tahu bagaimana Buya Hamka yang di penjara tanpa pernah diadili terlebih dahulu selama 2 tahun 4 bulan oleh rezim orde lama, menghasilkan karya besarnya Tafsir Al-Azhardi sana. Badiuzzaman Nursaidpun menghasilkan Risalah Nur saat di penjara. Ada Sayyid Quthb yang menulis Tafsir Fii Dzilal Alqur’an, Ibnu Taimiyyah berteman secarik kertas, tinta dan pena menulis Majmu Fatawa juga di penjara.
Mereka semua dikaruniai jiwa yang merdeka, alam pikirnya mengembara, merenungi kuasa Allah. Begitupun dengan Adolf Hittler yang menulis Mein Kampts. Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi Pulau Buru, semuanya saat di penjara.
Saat keluar, buku-buku mereka membawa pengaruh yang sangat besar bagi banyak orang. Bahkan mampu membuat sebuah revolusi. Dari sinilah terbukti bahwa tak semua orang yang pernah di penjara bernasib buruk saat dia telah kembali ke masyarakat.
Lihatlah bagaimana seorang Johny Indo terlahir sebagai manusia baru saat dia keluar dari Nusa Kambangan. Menjadi mualaf yang dimuliakan seorang pangeran Saudi dengan mengundangnya berhaji hanya karena Sang Pangeran melihatnya membersihkan saluran got yang dipenuhi sampah. Baginya, proses kehidupan manusia boleh berliku, namun Allah melihat bagaimana manusia itu di akhir kehidupannya, bukan di awalnya.
Betapa mudah bagi Allah untuk memuliakan ataupun menghinakan siapapun yang Dia kehendaki. Itulah kenapa kita tak boleh menghakimi siapapun, termasuk orang-orang yang pernah di penjara. Sebagaimana yang baru-baru ini kita dengar bagaimana seorang Angelina Sondakh yang notabene adalah mualaf, telah hafal Alquran sebanyak 16 juz. Sementara masih banyak orang Islam yang sejak lahir beragama Islam tak mampu menghafalkan Alquran satu juz pun.
Hidup ini punya banyak pembelajaran. Bukan sekedar punya warna hitam dan putih. Jangan pernah menilai siapapun hanya karena embel-embel duniawi yang tak akan abadi. Kebebasan yang merdeka atau yang terenggut, semua punya makna yang harus ditemukan. Karena tak ada yang kebetulan yang terjadi di dunia ini. Dan selalu yakinlah bahwa apapun yang terjadi, itulah yang terbaik, karena Allah hanya memberikan yang terbaik bagi hamba-hambaNya yang yakin. Allahu’alam
Comments
Post a Comment