Sekolah Budaya Keren Di Kota Malang
07 November 2017
Bernas.id. “Tanpa budaya maka sebuah negara tak memiliki identitas”
Begitulah kata-kata yang terucap dari seorang guru dari sebuah sekolah budaya di kota Malang.
Kita tentu masih ingat bagaimana negara tetangga mengklaim makanan Indonesia, batik, wayang dan juga tarian Indonesia sebagai hak miliknya. Kita marah dan mengecamnya. Namun, sudahkah kita memang benar-benar menghargai kebudayaan kita sendiri, hingga hanya marah dan sadar saat sudah diakui negara lain?
Lihatlah yang sekarang terjadi. Berapa banyak generasi muda yang masih mau belajar gamelan, tarian tradisional ataupun ingin tahu sejarah kebudayaannya sendiri? Kebanyakan orangtua lebih suka anaknya les piano, les balet, dan lainnya. Rasanya lebih bergengsi dan punya masa depan bagus menurut mereka.
Begitupun dengan kuliner kita yang kaya rasa. Berapa banyak yang mau melestarikan dengan membuka franchise seperti makanan lain dari negara yang tak peduli akan halal dan haram. Kue tradisional pun tergerus dengan maraknya kue para artis yang hits karena dianggap kekinian.
Begitupun dengan sekolah, semua berkiblat pada hal kekinian yang didewakan, hingga sekolah budaya sendiri jadi tak diperhatikan apalagi diperhitungkan. Hanya sedikit yang punya kepedulian untuk melestarikan kebudayaan negeri ini.
Bersyukur di kota Malang masih ada 4 tokoh kebudayaan yang masih punya kepedulian pada budaya sendiri. Salah satunya yang masih mengajar di sekolah budaya yang lokasinya berada di tempat yang cukup’tidak masuk akal’. Mengapa? karena lokasinya berada di balik gunungan tempat pembuangan sampah plastik bekas.
Awalnya banyak yang tidak percaya adanya sebuah sekolah di sana, kendaraan harus berhenti di tempat gunungan plastik bekas yang akan diangkut sebuah truk. Jika malam hari hanya ada beberapa orang yang berjaga di sana. Dan setelah melewati gunungan barang bekas itulah, barulah bisa ditemukan sekolah yang pintu gerbangnya berbentuk gapura dengan kolam kecil. Sekolah kebudayaan.
Setiap malam cukup beragam kegiatannya. Biasanya ada beberapa mahasiswa, terutama yang masih peduli kebudayaannya duduk mengitari meja bundar membicarakan sesuatu program yang bisa dibagikan di sekolah ini. Sang guru duduk lesehan di tikar sambil membaca sesuatu dengan dupa yang menyala. Saat itu baru saja bubar kelas menari yang rutin diadakan gratis setiap hari minggu. Kelas anak-anak dan kelas dewasa. Dari pagi hari hingga malam.
Nama julukan Sang Guru adalah Galuh Anggoro Sasongko, ayah tiga anak yang berasal dari Ponorogo. Beliau seorang yang sangat mencintai budaya hingga seluruh hidupnya dia persembahkan untuk pengembangan budaya itu sendiri. Begitu pengakuannya.
Di sekolah yang tak masuk dalam dinas pendidikan dan kebudayaan ini, diajarkan kelas Rantayan atau Rantoyoan, yaitu kelas menari dengan filosofinya. Lalu setiap senin legi malam dibuka kelas belajar serat centini. Sebuah surat yang mengajarkan ‘ngilmu urip’(ilmu kehidupan) dalam tembang, yang dimulai sejak pukul 8 malam hingga selesai. Hanya sedikit yang mampu bertahan dan memahami serat sentini yang memang sarat dengan filosofi kehidupan.
Hari Rabu belajar Mocopat, yang artinya membaca dengan ketukan empat-empat yaitu cipta, rasa, karsa dan karya. Ada juga kelas Aji mutakad seked (50) yang memaknai kalimat Laa illaha Illallah.
Beliau suka sekali nembang, suaranya mengingatkan pada suara budayawan Sudjiwo Tedjo. Ada unsur magis yang terasa. Berbicara dengan beliau seperti membuka buku yang tertulis rapi dengan bahasa sederhana yang sarat makna. Rasanya ingin terus membacanya.
Sekolah ini mandiri secara finansial, tak bergantung pada lembaga apapun. Bagaimana bisa demikian? Beliau dengan tenang menjelaskan,”Penampungan sampah plastik bekas yang berada di depan sekolah inilah yang membiayai hampir seluruh kegiatan di sekolah ini, juga sumbangan dari beberapa orang yang memang peduli pada nasib kebudayaan negeri ini.”
Bernas.id. “Tanpa budaya maka sebuah negara tak memiliki identitas”
Begitulah kata-kata yang terucap dari seorang guru dari sebuah sekolah budaya di kota Malang.
Kita tentu masih ingat bagaimana negara tetangga mengklaim makanan Indonesia, batik, wayang dan juga tarian Indonesia sebagai hak miliknya. Kita marah dan mengecamnya. Namun, sudahkah kita memang benar-benar menghargai kebudayaan kita sendiri, hingga hanya marah dan sadar saat sudah diakui negara lain?
Lihatlah yang sekarang terjadi. Berapa banyak generasi muda yang masih mau belajar gamelan, tarian tradisional ataupun ingin tahu sejarah kebudayaannya sendiri? Kebanyakan orangtua lebih suka anaknya les piano, les balet, dan lainnya. Rasanya lebih bergengsi dan punya masa depan bagus menurut mereka.
Begitupun dengan kuliner kita yang kaya rasa. Berapa banyak yang mau melestarikan dengan membuka franchise seperti makanan lain dari negara yang tak peduli akan halal dan haram. Kue tradisional pun tergerus dengan maraknya kue para artis yang hits karena dianggap kekinian.
Begitupun dengan sekolah, semua berkiblat pada hal kekinian yang didewakan, hingga sekolah budaya sendiri jadi tak diperhatikan apalagi diperhitungkan. Hanya sedikit yang punya kepedulian untuk melestarikan kebudayaan negeri ini.
Bersyukur di kota Malang masih ada 4 tokoh kebudayaan yang masih punya kepedulian pada budaya sendiri. Salah satunya yang masih mengajar di sekolah budaya yang lokasinya berada di tempat yang cukup’tidak masuk akal’. Mengapa? karena lokasinya berada di balik gunungan tempat pembuangan sampah plastik bekas.
Awalnya banyak yang tidak percaya adanya sebuah sekolah di sana, kendaraan harus berhenti di tempat gunungan plastik bekas yang akan diangkut sebuah truk. Jika malam hari hanya ada beberapa orang yang berjaga di sana. Dan setelah melewati gunungan barang bekas itulah, barulah bisa ditemukan sekolah yang pintu gerbangnya berbentuk gapura dengan kolam kecil. Sekolah kebudayaan.
Setiap malam cukup beragam kegiatannya. Biasanya ada beberapa mahasiswa, terutama yang masih peduli kebudayaannya duduk mengitari meja bundar membicarakan sesuatu program yang bisa dibagikan di sekolah ini. Sang guru duduk lesehan di tikar sambil membaca sesuatu dengan dupa yang menyala. Saat itu baru saja bubar kelas menari yang rutin diadakan gratis setiap hari minggu. Kelas anak-anak dan kelas dewasa. Dari pagi hari hingga malam.
Nama julukan Sang Guru adalah Galuh Anggoro Sasongko, ayah tiga anak yang berasal dari Ponorogo. Beliau seorang yang sangat mencintai budaya hingga seluruh hidupnya dia persembahkan untuk pengembangan budaya itu sendiri. Begitu pengakuannya.
Di sekolah yang tak masuk dalam dinas pendidikan dan kebudayaan ini, diajarkan kelas Rantayan atau Rantoyoan, yaitu kelas menari dengan filosofinya. Lalu setiap senin legi malam dibuka kelas belajar serat centini. Sebuah surat yang mengajarkan ‘ngilmu urip’(ilmu kehidupan) dalam tembang, yang dimulai sejak pukul 8 malam hingga selesai. Hanya sedikit yang mampu bertahan dan memahami serat sentini yang memang sarat dengan filosofi kehidupan.
Hari Rabu belajar Mocopat, yang artinya membaca dengan ketukan empat-empat yaitu cipta, rasa, karsa dan karya. Ada juga kelas Aji mutakad seked (50) yang memaknai kalimat Laa illaha Illallah.
Beliau suka sekali nembang, suaranya mengingatkan pada suara budayawan Sudjiwo Tedjo. Ada unsur magis yang terasa. Berbicara dengan beliau seperti membuka buku yang tertulis rapi dengan bahasa sederhana yang sarat makna. Rasanya ingin terus membacanya.
Sekolah ini mandiri secara finansial, tak bergantung pada lembaga apapun. Bagaimana bisa demikian? Beliau dengan tenang menjelaskan,”Penampungan sampah plastik bekas yang berada di depan sekolah inilah yang membiayai hampir seluruh kegiatan di sekolah ini, juga sumbangan dari beberapa orang yang memang peduli pada nasib kebudayaan negeri ini.”
Comments
Post a Comment